Restorative Justice pada Tindak Pidana Kekerasan dalam
Keluarga
Matriks: Jurnal
Sosial dan Sains
Abdurrahman Al Akhdloriy 12
Pendahuluan
Masyarakat dan ketertiban adalah dua dimensi yang saling melekat satu sama lain
(Zawawi, Pd, & Pd, 2015). Masyarakat sebagai manusia sosial tentu akan membutuhkan
manusia lain (Tabi’in, 2017), hubungan erat antar individu dengan individu menunjukkan
bahwa manusia tidak dapat hidup sendiri (Utami, Purnomo, & Salam, 2019) yang berarti
dalam memenuhi segala kebutuhan primer maupun sekunder (Wibisono, 2013) mereka
akan saling melengkapi satu sama lainnya (Rachmadani, 2013), di dalam menjalankan
suatu proses untuk memenuhi kebutuhannya (Mahmudi, 2011), manusia akan sangat
rentan untuk bergesekan satu dengan yang lainnya dalam memenuhi kebutuhan hidup
(Sofia, 2021), untuk itu manusia menciptakan suatu peraturan dalam menjaga ketertiban
dalam suatu masyarakat (Guntur, 2017), seperti halnya yang dikatakan oleh Sujipto
Rahardjo bahwa untuk mencapai ketertiban dalam masyarakat yang sedikit banyak
berjalan dengan tertib (BF & Kaharudin, 2018) dan teratur ini didukung oleh adanya
suatu tatanan, karena adanya tatanan inilah kehidupan menjadi tertib (Primirinda FS,
2016).
Restorative justice dalam terminologi hukum pidana adalah penyelesaian perkara
di luar pengadilan dengan perdamaian antara korban dan tersangka (Dewi, 2021) dimana
biasanya dilakukan dengan memberikan ganti kerugian yang dialami oleh korbannya
(Marasabessy, 2016), akan tetapi penerapan pengadilan restoratif ini diperuntukan dalam
kasus pidana delik ringan (Karim, 2016). Berdasarkan KUHP (Kitab Undang- Undang
Hukum Pidana) tidak dijelaskan tentang definisi delik ringan (Nata & Ain, 2015), akan
tetapi dalam KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) terdapat ketentuan
tentang tata cara dalam pengadilan tipiring (tindak pidana ringan), dalam Pasal 205 ayat
(1) KUHAP menyatakan bahwa tindak pidana ringan diperiksa menurut acara
pemeriksaan cepat, pasal tersebut berbunyi “yang diperiksa menurut acara pemeriksaan
tindak pidana ringan ialah perkara yang diancam dengan penjara atau kurungan paling
lama tiga bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu limaratus rupiah dan
penghinaan ringan”.
Restorative justice merupakan konsep keadilan yang diusulkan dalam gerakan
abolisionis untuk menggantikan konsep yang digunakan dalam sistem peradilan pidana
yaitu retributive justice. Konsep keadilan restoratif tidak memfokuskan diri pada
kesalahan yang telah lalu, tetapi bagaimana memecahkan masalah tanggung jawab dan
kewajiban pada masa depan dari pelaku. Model perlawanan digantikan oleh model dialog
dan negosiasi. Penjeraan diganti dengan rekonsiliasi dan restorasi sebagai tujuan utama.
Masyarakat dianggap merupakan fasilitator dalam proses restoratif dan perasaan korban
dan pelaku dikaui. Stigma harus di hapus melalui tindakan restoratif dan kemungkinan
selalu terbuka untuk bertaubat dan memaafkan asal mereka membantu perbaikan situasi
yang diakibatkan oleh perbuatannya.
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) merupakan salah satu bentuk kekerasan
yang terjadi di kehidupan masyarakat (Ramadani & Yuliani, 2017). Kekerasan itu sering
juga disebut dengan istilah dosmetic violence karena terjadinya di ranah domestik.
Masalah
KDRT
merupakan salah satu hal penting yang menjadi perhatian serius oleh
pemerintah Indonesia pada era reformasi.
Masalah KDRT pertama kali di bahas dalam
seminar yang diselenggarakan oleh Pusat Pelayanan dan Pengabdian Hukum Universitas
Indonesia pada tahun 1991. Materi seminar difokuskan pada suatu wacana yaitu adanya
kekerasan yang luput dari perhatian masyarakat maupun penegak hukum (law enforce),
yaitu yang terjadi di dalam lingkup rumah tangga. Berdasarkan perjuangan yang panjang,
akhirnya pada tanggal 22 September 2004 disahkan dan diresmikan oleh Undang-Undang
khusus yang digunakan untuk menanggulangi KDRT. Undang-Undang khusus dimaksud
adalah Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam